Kasus Merek Pierre Cardin VS Alexander Satryo Wibowo
Melihat Kembali Gugatan Kasus Merek Pierre Cardin VS Alexander Satryo Wibowo. Kasus merek Pierre Cardin VS Alexander Satryo Wibowo berlangsung di Indonesia pada tahun 2015. Sebenarnya sangat marak terjadi gugatan kasus merek dagang antara satu pengusaha kepada pengusaha lainnya yang dianggap menggunakan merek dagang mereka tanpa meminta izin dan menimbulkan kerugian.
Meskipun sudah cukup lama, kasus ini sangat menarik untuk dibahas karena ada unsur menilik kembali kepada undang-undang lama. Menariknya, Alexander Satryo Wibowo sebagai tergugat menang di pengadilan. Hakim di Indonesia memutuskan mengambil sikap tersebut karena gugatan tersebut dianggap sudah kadaluwarsa.
Tentunya keputusan ini akan sangat berdampak pada merek Pierre Cardin itu sendiri. Masyarakat Indonesia terbiasa dan senang menggunakan barang buatan luar negeri. Apabila mereka mengetahui bahwa Pierre Cardin juga dibuat oleh pengusaha Indonesia, maka tentunya pamor pembelian kedua barang ini bisa menurun.
Adanya anggapan barang tiruan, mungkin tidak akan terelakkan sehingga mempengaruhi penjualan. Meski begitu, kemungkinan sebaliknya juga dapat terjadi. Apabila merek dengan sengketa ini mampu melekat pada benak masyarakat, mungkin saja akan semakin terkenal dan juga penjualan akan meningkat.
Kronologi Kasus Merek Pierre Cardin VS Alexander Satryo Wibowo
Seorang desainer asal Perancis yaitu Pierre Cardin merupakan perancang busana yang telah terkenal di berbagai negara. Ia mulai merintis bisnisnya di tahun 1950-an dengan membuat bubble dress dan women ready to wear untuk supermarket bernama Printemps. Tahun 1971 ia melakukan tur pertamanya sebagai perancang busana ke Jepang. Ia merancang busana untuk Pakistan International Airlines dan pakaian nasional Filipina, Barong Tagalog.
Pada tahun 1972 ia meluncurkan produk parfum yang diberi nama Pierre Cardin Por Monsieur. Merek parfumnya ini banyak diminati kalangan atas di Perancis dan Eropa. Sehingga pada tahun 1974 ia telah mengantongi hak eksklusif merek dagang di Paris Perancis. Selama berkarir di dunia fashion ia juga meraih penghargaan Superstar Award dari Fashion Grup International.
Tahun 1977 seorang perancang busana nasional membuat merek dagang fashion dengan nama Pierre Cardin yang di daftarkan oleh Wenas Widjaja di Indonesia. Setelah beberapa kali berpindah nama pemegang lisensi merek dagang Pierre Cardin Indonesia akhirnya dimiliki oleh Alexander Satryo Wibowo pada tahun 1987. Ia terus memperpanjang hak atas merek Pierre Cardin Indonesia sampai saat ini.
Ia mendaftarkan merek dagang dengan nomor IDM000223196 untuk barang kelas 03 yaitu kosmetik seperti minyak rambut, bedak, sampo, sabun, parfum, deodorant, dan barang kosmetik lainnya. Alexander juga mendaftarkan logo dan merek Pierre Cardin.
Baru pada tahun 2009 Pierre Cardin Perancis mendaftarkan merek dagangnya ke Indonesia dan dicatat di Ditjen HAKI Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ia mendaftarkan barang di kelas 3,9,10,12,16,18, 20,21,23,24,25,30,32,33,dan 34. Begitupun dengan merek dagang dan juga logo Pierre Cardin Perancis.
Pada tahun 2015 inilah Pierre Cardin Perancis yang berkantor di 59 Reu Du Fauborg Saint-Honore, Paris, Perancis mulai menggugat Alex pemilik Pierre Cardin Indonesia. Perkara dengan nomor 15 / HKI / MEREK / 2015 / PN.Jkt.Pst di daftarkan ke pengadilan Jakarta Pusat. Menurut kuasa hukum Pierre Cardin Perancis bahwa Alexander Satryo Wibowo tidak memiliki itikad baik dengan mendaftarkan merek dagang yang sama ke pemerintah Indonesia.
Ia juga meminta pengadilan Jakarta Pusat untuk membatalkan semua pendaftaran merek dan logo Pierre Cardin juga pendaftaran barang kosmetik. Selain itu Pierre Cardin Perancis juga menggugat Direktorat HAKI sebagai penyelenggara kekayaan intelektual di Indonesia.
Kemenangan Alexander Satryo Wibowo
Setelah Pierre Cardin Indonesia menjadi pihak tergugat, maka diadakanlah sidang. Pada tanggal 9 Juni 2015 pihak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan Pierre Cardin Perancis dengan berbagai pertimbangan.
Tidak puas sampai di sana, pihak Pierre Cardin Perancis juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung akan tetapi hasilnya nihil. Kasasi tersebut tetap ditolak dan hasilnya menetapkan bahwa Pierre Cardin merupakan milik warga Kayu Putih Jakarta Timur yakni Alexander Satryo Wibowo.
Ada beberapa pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan tersebut diantaranya adalah:
1. Penggunaan kata dalam merek Pierre Cardin.
Penggunaan kata Pierre Cardin merupakan bahasa resmi dan nama desainer dari Perancis sehingga jika digunakan sebagai merek dagang di Indonesia akan menimbulkan suatu pertanyaan apakah nama tersebut menjiplak atau memang asli pemikiran dari si pemilik. Maka dari itu kemungkinan besar pihak tergugat memiliki itikad untuk meniru, menjiplak, menumpang ketenaran sadari pihak lain.
2. Persamaan merek dan logo Pierre Cardin.
Ada persamaan bentuk antara merek dan logo Pierre Cardin Perancis juga Indonesia. Meskipun tidak sama persis, tetapi ada beberapa unsur bentuk logo yang dinilai memiliki kemiripan tertentu. Yakni huruf P yang memiliki lengkungan di bagian dalamnya.
Pelafalan bunyi Pierre Cardin antara keduanya juga sangat mirip sehingga hampir tidak ada perbedaan. Begitupun dengan jenis barang yang dijual bahkan juga memiliki kemiripan yaitu di bidang fashion dan kosmetik. Hal ini cukup memberatkan bagi Pierre Cardin Indonesia.
3. Kemasyhuran nama Pierre Cardin.
Nama Pierre Cardin memang memiliki keterkenalan saat ini. Akan tetapi pada tahun 1977 merek ini dinilai belum mendapatkan keterkenalannya.
Pihak Pierre Cardin Perancis tidak menyertakan bukti-bukti bahwa pada tahun tersebut merek ini merupakan merek terkenal dan telah melakukan promosi besar-besaran ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Jadi tidak ada bukti bahwa Pierre Cardin Perancis merupakan merek terkenal pada saat itu.
4. Pendaftaran dengan itikad tidak baik.
Hakim menimbang bahwa dalam produk Pierre Cardin Indonesia milik Alexander selalu mencantumkan product by PT. Gudang Rejeki Utama – Jalan Kayu Putih Utara/B.10 Jakarta Indonesia. Selain itu juga dituliskan dalam produk-produknya yaitu “Made in Indonesia”.
Hal ini dinilai merupakan komitmen serius dari pihak Alexander bahwa ia tidak ingin meniru dan menjiplak pihak manapun yang menyebabkan konsumen tertipu atau keliru.
Sudah jelas bahwa barang yang diproduksi merupakan barang buatan Indonesia dengan merek dagang tersebut.
Dengan adanya pertimbangan tersebut membuat pihak Alexander Satryo Wibowo menang dalam persidangan dan secara sah di Indonesia merek dagang Pierre Cardin merupakan miliknya.
Kasus ini membuat para pemodal luar negeri menjadi takut dan bingung untuk mendaftarkan merek dagangnya di Indonesia. Lemahnya sistem hukum dan perundangan tentang hak atas kekayaan intelektual Indonesia yang belum jelas membuat citra buruk negeri ini di mata dunia.
Keadaan ini perlu diperbaiki dengan keterbukaan sistem informasi agar dapat menarik perhatian para investor.
Ditjen HAKI juga harus proaktif, dengan adanya teknologi informasi dan internet dapat mencari di dunia maya apakah merek dagang yang didaftarkan memiliki duplikasi dengan merek luar atau orisinal karya bangsa Indonesia. Sehingga ke depannya sengketa seperti kasus merek Pierre Cardin VS Alexander Satryo Wibowo tidak terjadi lagi.
Seorang pakar konten kreator sejak tahun 2016, berpendidikan ekonomi praktisi dibidang bisnis dan pemasaran. Di waktu luang juga menjadi pembicara di beberapa acara. Telp: 021 2217 2410, WA 0853 5122 5081